3.
Sosok
Stella Chin sebagai seorang isteri
Awalnya
Stella tidak pernah paham mengapa setelah menikah dan memiliki anak, hidupnya
seolah sulit. Padahal awalnya dia berharap hanya menjadi isteri dan ibu rumah
tangga yang mampu menjaga kebahagiaan keluarga. Namun tak disangka, di usianya
yang ke-23 dia terpaksa merantau, mengikuti sang suami untuk memulai babak baru
kehidupan. Walaupun awalnya Stella berpikir untuk membiarkan suaminya berangkat
sendiri ke Thailand, mengingat anaknya masih kecil. Namun akhirnya Stella luluh
juga saat Alan membujuknya dengan berkata
“Kalau
tidak ada kamu? Siapa yang akan membantu saya merintis usaha ini? Sekarang saya
masih 27 tahun dan baru tiga tahun lagi memasuki usia 30. Kalaupun usaha ini tidak
berhasil dalam tiga tahun ini, kita masih bisa kembali ke Malaysia dan bekerja seperti
sekarang. Sedangkan kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali. Kalau kita
tidak mengambil kesempatan ini sekarang, mungkin kita akan menyesal di kemudian
hari,” tutur Alan.
Akhirnya
pada tahun 1993, bersama anaknya Amanda yang baru berusia satu setengah tahun, yang
terpaksa harus tidur di lantai tingkat atas ruko kantor mereka, Stella pun
memulai hidup di negeri orang bersama suaminya Alan. Saking sulitnya, mereka
akhirnya hanya bisa menggunakan meja dan kursi kantor yang tidak terpakai untuk
perabot rumah mereka.
“Jika Anda menanyakan motivasi saya nekat
berangkat ke Thailand belasan tahun yang lalu, terus terang, saya juga tidak
tahu,” ungkap Stella.
Stella
rela mendampingi suaminya membangun usaha dengan mencurahkan seluruh hati dan
pikirannya untuk membangun bisnis mereka. Meskipun harus mengorbankan ambisi
pribadinya menjadi desainer yang merupakan impian Stella sejak kecil. Terbukti
dengan kepintaran Stella menggambar, lukisannya selalu di pajang di mading
sekolah. Kesetiaan Stella terhadap Alan suaminya, ternyata teladan yang ia
dapatkan dari karakter sang ibu yang begitu tegar dan setia dalam berjuang
memperahankan harga diri sang ayah. Walaupun sesampainya di Thailand Stella dan
suaminya harus mengalami masa-masa sulit.
Ternyata
setibanya di Thailand janji manis yang dilontarkan mitra bisnis mereka hanyalah
bualan belaka. Sementara perusahaan yang baru mereka dirikan ternyata tidak
memiliki cadangan uang sama sekali. Belum lagi rasa terpukul saat mengetahui
bahwa produk yang akan mereka jual belum terdaftar di Departemen Kesehatan
Thailand. Namun pukulan yang paling hebat adalah saat mengetahui bahwa partner
bisnis mereka menyembunyikan kondisi keuangan perusahaan. Dimana awalnya Alan
suaminya mengira masih ada dana cadangan untuk operasional sebesar Rp 368 juta,
tapi ternyata uang yang ada dalam kas perusahaan mereka hanya tersisa Rp 35
juta saja.
Selama
enam bulan berlalu tanpa ada masukan, akhirnya Stella dan suaminya terpaksa
menguras tabungan pribadi mereka. Hasil simpanan mereka selama bekerja
bertahun-tahun di Malaysia. Upaya ini dilakukan agar kegiatan operasional perusahaan
mereka tidak terganggu. Situasi makin berat saat Stella melahirkan putra kedua
mereka, ditengah kewalahan mereka membangun bisnis. Tak ada cara lain, akhirnya
Amanda, putri pertama mereka di bawa pulang ke Melaka untuk dijaga dan diasuh
sang nenek. Saat inilah Stella merasakan pukulan yang sangat berat dalam
hidupnya, karena harus berpisah dengan anaknya. Dia pun menjalani hari-harinya
tanpa gairah, hingga Stella berkali-kali menguatkan dirinya dengan mengatakan
tiga hal berkali-kali.
“Pertama
saya tidak mau menjadi wanita yang depresi. Kedua: Saya tidak mau menjadi
wanita yang depresi. Ketiga: Saya tidak mau sampai bercerai,” ucap Stella
berkali-kali meyakinkan dirinya.
Awalnya
Stella sering berbicara kepada dirinya sendiri dan khususnya kepada Tuhan,
untuk mempertanyakan jalan hidupnya. Bukannya menemukan jawaban, hingga memasuki
usia ke 27 tahun, hari-hari yang dilewatinya semakin berat. Stella pun berusaha
bertahan mendampingi suaminya, karena yang terpikir di benak Stella waktu itu
hanya mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Baru setelah memasuki usia ke-28
Stella menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya.
Dia
menyadari bahwa terus fokus pada diri sendiri adalah penyebab kebuntuan
dirinya. Seharusnya setelah menikah, suami dan anak-anaklah tanggung jawab dan
fokus utamanya. Untuk itulah saat melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah
suaminya kala usaha mereka berkembang, sudah cukup bagi Stella untuk melupakan
apapun impiannya, demi sepenuh hati membantu suami tercinta sebagai prioritas
hidupnya setelah keempat anak-anaknya.
Menurut
Stella, prioritas dan tujuan adalah unsur penting dalam hidup. Kita akan
mengalami perubahan dalam setiap fase kehidupan kita. Masih menurut Stella,
semakin cepat kita memahami fase ini, semakin cepat pula kita menyesuaikan diri
dan menata ulang hidup kita. Saat itulah kita bisa mulai merencanakan hidup
yang lebih baik dan mengisi kekurangan dalam hidup kita. Empat tahun kemudian,
sedikit demi sedikit bisnis yang mereka rintis pun mulai menampakkan hasil. Bantuan
dari berbagai pihak, membuat perusahaan mereka akhirnya bisa bertahan. Dan
bantuan paling besar justru datang dari seorang teman mereka yang berkebangsaan
Taiwan
Yah,
Lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan untuk mewujudkan impian orang lain. Sebelum
berusia 20 tahun, Stella mendedikasikan dirinya untuk mewujudkan impian sang
ayah. Setelah berusia 20 tahun, hidupnya didedikasikan untuk mewujudkan impian
suaminya. Tanpa disadari, seluruh proses ini menjadi pembelajaran penting bagi
Stella. Hal ini menjadi penunjuk bagi Datuk Stella Chin dalam menentukan tujuan
hidup yang ingin dia jalani di kemudian hari untuk mewujudkan impian
pribadinya.
Tak
heran bila Alan memuji isterinya, Stella dengan berkata
“Saya
selalu terkesan dengan kehebatan Stella menjalani perannya dengan sempurna,
baik di ranah pekerjaan maupun keluarga. “
Bahkah
setiap kali membicarakan isterinya, pancaran cinta tampak nyata di mata Alan
suaminya.
“Sebagai
isteri, Stella tidak pernah berhenti membahagiakan saya. Dia benar-benar tahu
cara membuat hari-hari saya terlihat selalu baru, apalagi pada hari ulang tahun
saya. Walaupun saya juga selalu berusaha membuat kejadian pada hari ulang
tahunnya, ide dan kreativitas saya masih kalah jauh dibanding Stella.”
Tatapan
penuh cinta Alan kepada Stella adalah hasil dari lika-liku perjalanan hidup
mereka. Yah, Alan menyadari betapa besar pengorbanan Stella sejak awal
pernikahan hingga saat ini, terutama ketika Stella harus membanting tulang
membantu Alan mewujudkan perusahaan impiannya. Stella memang berbeda dengan
wanita sebayanya yang waktu itu mengisi pikiran mereka dengan khayalan tentang
pria sempurna layaknya pangeran berkuda putih. Stella percaya bahwa menemukan
pria baik yang tulus sudah melebihi kebahagiaan menemukan seorang pangeran.
Bagi
Stella cinta layaknya telapak tangan. Tidak peduli panas atau dingin, asalkan
kedua tangannya berpegangan, yang terjadi adalah saling menghangatkan.
Masih menurut Datuk Stella Chin, pernikahan adalah sebuah wujud penyatuan
tangan dari dua individu. Dimana tangan
kanan adalah cerminan masa lalu, tangan kiri adalah gambaran masa depan, dan
telapak tangan adalah masa sekarang ini.
Sebagaimana
ungkapan Stella sendiri dalam sebuah seminar
“Suami
saya sangat mencintai saya. Hari-hari kami dipenuhi dengan upaya untuk saling
mengisi satu sama lain.”
Tak
sampai disitu, bentuk perhatian Stella yang lainnya pada sang suami yaitu beliau
sangat peduli dengan penanpilan sang suami agar tetap segar dan awet muda.
Selain memperhatikan penampilan dirinya sendiri, Stella kerap memilihkan
pakaian suami mengikuti fashion Eropa, Jepang atau Korea hingga Alan suaminya
selalu terlihat prima. Bersambung Kebahagiaan Yang Kutahu 3
#KebahagiaanYangKutahu#DatukStellaChin#StellaSociety
referensi
foto
- Dari
Koleksi pribadi
- Dari album
foto fb dan IG kebahagiaan Yang kutahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar