Dalam
mahligai pernikahan, suami ibarat kapten kapal, dan kita awak kapalnya. Nah,
saat sang kapten kapal yang kita harapkan tidak bisa mengarahkan kapal dengan
baik inilah dia menjadi kapten bengek. Kecewa,
marah, merasa tertipu dsb...akan kita rasakan memenuhi dada hingga sesak
mendera. Kita pun tidak terima dan mulai mempertanyakan kompetensinya.
Mestinya
dia sebagai suami...
Harusnya
dia sebagai kepala keluarga kan...
Kapten
bengek juga ditandai dengan ciri-ciri suami yang tidak handal, peragu, kurang
kompeten, kaku dalam berkomunikasi dsb....
Lalu,
apa yang harus kita lakukan?
1. Menyalahkan
sang kapten kapal yaitu suami kita dan menuntutnya untuk segera berubah?
2. Membiarkannya
saja demi menghindari konflik alias membatin? baca juga ibu depresi dan penganut aliran kebathinan atau
3. Mengambil
alih kemudi kapal agar tidak tenggelam?
Bila kita melakukan hal yang pertama, maka tidak ada
gunanya karena hanya akan memperburuk keadaan. Untuk menuntut agar suami
berubah tidalah mudah alias sangat sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.
Ketika kita
memilih jalan yang kedua, maka hanya akan membawa kepada kehancuran rumah
tangga dan saat meledak akan menjadi masalah besar. Bayangkan ketika kita
membiarkan saja saat suami tidak memberi nafkah, atau saat suami tidak mau
shalat. Padahal kewajiban suami sebagai kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga
adalah menafkahi anak dan isterinya. Juga menjadi imam yang bisa membimbing
keluarganya untuk taat kepada Allah.
Dan bila kita memilih jalan ketiga, sah-sah saja
untuk sementara waktu agar rumah tangga tidak terbenam alias hancur. Tapi, mau
sampai kapan kita yang harus mengambil alih kemudi rumah tangga? Tentu rasa
lelah yang luar biasa akan mendera kita.
Memang, disaat kondisi darurat dimana suami kita
menjadi kapten bengek alias tidak memiliki kemampuan yang kita harapkan sebagai
pemimpin dan kepala keluarga, jalan paling baik adalah menyelamatkan dulu biduk
rumah tangga kita. Karena disaat seperti ini tidaklah bijak bila kita memilih
melompat dari kapal atau malah membanding-bandingkannya dengan kapten kapal
yang lain. Tapi bukan berarti kita membiarkannya untuk terus tertidur dari
tugas utamanya itu.
Pilihan terbaik adalah mengambil alih kemudi,
sembari kita tetap berusaha membantu suami untuk sembuh dan sadar. Tentu butuh
kemauan yang kuat dari suami untuk melakukannya. Bagaimana bila suami tidak mau
alias bertingkah? Akan semakin beratlah usaha kita untuk membantunya berubah.
Intinya semua tergantung pilihan kita sebagi awak kapal. Apakah mengambil alih
kemudi dan membiarkannya dengan pikiran bahwa ini tanggung jawab kita semata.
Atau mengambil alih kemudi rumah tangga tetapi lupa menyembuhkan sang kapten
bengek ini alias suami kita.
Yang terpenting sebenarnya kita mulai perubahan itu dari diri
sendiri dulu, tanpa melihat masa lalu alias dengan menatap ke depan. Tentang suami
yang sulit berubah, dibutuhkan kerja keras kita sebagai isteri dengan niat
karena Allah dan keluarga. Barengi juga dengan doa-doa kita karena inilah
kekuatan yang paling besar merubah keadaan, karena kemampuan kita yang
terbatas.
Baru tahu dengan istilah Kapten Bengek. Lucu namanya. Tapi, kalo saya jadi istri yg dlm keadaan punya suami seperti itu, awalnya saya mungkin bakal negur. Jika tak berdayanya karena sudah tua atau sakit, mungkin memang saatnya tulang rusuk menjadi tulang punggung...
BalasHapusbener banget mak nia haryanto, kita yg kudu mengambil alih daripada berantakan
HapusKalau sy... sayalah yg akan mengambil alih kemudi. Sekaligus mempersiapkan kapten2 baru yaitu anak2.
BalasHapus