Sumber foto Www.DetikCinta.com
Pada saat awal menikah,
saya berpikir inilah gerbang kebahagiaan hidup saya sesungguhnya. Dan suami
saya pasti akan memberikan saya kebahagiaan selamanya. Bak cerita dongeng Cinderela yang digambarkan indah, Ever After....Tapi oh tetapi, baru
beberapa bulan menjalani pernikahan, saya pun merasakan jatuh bangunnya
membangun rumah tangga. Penuh dengan kejutan masalah yang mendebarkan bak
menaiki roller coaster. Akibatnya,
badan saya kurus memikirkan banyak hal dan jauh dari rasa bahagia. Harapan saya
yang terlalu tinggi bahwa suami akan terus membahagiakan saya, membuat saya
terjebak dalam rasa kecewa!
Akhirnya seiring berjalannya waktu, saya pun
menyadari bahwa tak ada yang mampu membahagiakan kita selain diri sendiri. Dan
tempat bergantung mencapai bahagia itu hanya pada Allah saja. Bahkan suami kita
sendiri belum tentu selalu merasa bahagia dengan diri dan hidupnya. Lah, bagaimana
mungkin dia bisa selalu membahagiakan kita? Bukan berarti saya tidak bahagia
hidup bersama suami. Namun harapan yang terlalu tinggi ingin dibahagiakanlah
yang membuat saya gampang frustrasi. Coba bandingkan bila kata di menjadi me, maka saya akan lebih memberikan bahagia bukan ingin dibahagiakan selalu oleh suami maupun siapapun. Hingga tak mudah kecewa dan sakit hati.
Prof. Dr. Quraish Shihab sendiri, dalam kajian Tafsir Al
Misbah pernah menerima pertanyaan dari jemaahnya, bagaimana caranya agar
senantiasa hidup dalam bahagia. Beliau pun memberikan dua formula kebahagiaan
sejati
Pertama, kurangilah kebergantungan terhadap sesuatu benda.
Sebab kebergantungan dapat menyebabkan kekurangan bila sesuatu itu tak ada.
Misalnya bila kita terlalu bergantung pada teman, maka bila teman kita tak ada
kita akan merasa ada yang kurang dalam hidup ini. Contoh lainnya bila kita
terbiasa minum kopi, maka satu hari tak minum kopi akan membuat kita merasa ada
yang kurang. Jadi semakin kecil kita bergantung pada sesuatu, maka akan semakin
kecil pula kita dikecewakan.
Kedua, Ukur keinginan kita dengan kemampuan yang kita
miliki. Contohnya bila kita hanya sanggup mengangkat beban 25 kg maka janganlah
membawa beban yang lebih dari itu. Lakukan secara bertahap bila kita ingin
mengangkat beban yang lebih dari 25 kg.
Sejatinya hidup tak melulu mencari bahagia saja, tapi
mencari hikmah dibalik setiap masalah dan kejadian. Bahkan hikmah bisa di dapat dari sesuatu hal yang kita miliki salah satunya pasangan hidup kita. Dan sah-sah saja bila kita ingin bahagia, karena bahagia itu adalah milik semua orang, termasuk
milik kita meski dalam keadaan apapun. Satu hal lagi, bahagia itu tak diperlu kita cari dengan susah payah karena dia berada sangat dekat yaitu di dalam hati yang
Sumber Foto Dari Www.YukTau.com
Ikhlas menerima takdir manis dan pahitnya hidup, karena kita percaya bahwa semua takdir dan ketentuan dari-Nya telah diukur sesuai kemampuan dan kesiapan kita.
Syukur terhadap apa yang telah kita miliki, bukan yang belum kita miliki. Hingga tidak mudah merasa sengsara dan iri terhadap yang dimiliki oleh orang lain, juga yang belum kita miliki. Setujuuuuu?
Hilangkan juga di pikiran kita bahwa
kebahagiaan adalah limpahan harta, karir dan kesuksesan saja. Bukankah ketika
kita dikelilingi oleh semangat dan energi adalah sebuah kebahagiaan yang besar?
Bahkan ketika kita dapat memberikan senyum tulus buat orang lain. Ini akan
melahirkan rasa bahagia karena kita membuat senang orang lain dengan senyuman.
Meskipun hanya sebuah perilaku sederhana. Moga kita termasuk orang-orang yang
mampu menjalani hidup bagaikan sebatang pohon. Selalu bahagia dan bisa
menularkan kebahagiaan pada siapapun. Aminnnn…
kurangilah kebergantungan terhadap sesuatu benda.
BalasHapussetuju mba.. kalau bisa usaha sndiri kenapa harus bergantung, minta bantuan its oke.. tapi jangan ketergantungan..kepada Makhluk..karena mereka juga punya batas...
bener banget mbak nova makasih ya udah bertamu ke rumah saya:)
BalasHapusTerimakasih atas infonya sis..
BalasHapusTips memilih perguruan tinggi
sama sama Ariq :)
Hapus