Begitu kuatnya ikatan batin diantara kita
Hingga rindu ini tak pernah diam.
Hingga rindu ini tak pernah diam.
Untuk menyambangimu, yang penuh sejuta kenangan bagiku.
Setiap detik selalu membayangkan dirimu yang nyaman dan artisitik itu.
Ketika berjalan sepanjang arcade mallioboro.
Setiap detik selalu membayangkan dirimu yang nyaman dan artisitik itu.
Ketika berjalan sepanjang arcade mallioboro.
Menikmati tembang kaki lima, sambil menjawab ramah
Sapa orang-orang yang duduk bersila
Menawarkan aneka cenderamata yang menawan hati
Serta berbagai karya yang penuh kreasi
Dari para pegiat senimu
Yang tak pernah mati inspirasi
Serta berbagai karya yang penuh kreasi
Dari para pegiat senimu
Yang tak pernah mati inspirasi
Meniti tapak-tapak kebersamaan
Meresapi sejuknya kabut kaliurang
Mendengarkan dedaunan basah berdendang
Mencengkram indahnya jalinan cinta dan persahabatan
Dipelataran hatiku yang lengang
Mendengarkan nyanyian ombak parangtritis nan mistis
Dengan hembusan udaranya yang ramah
Bagaikan dirimu
Yang begitu bersahabat penuh selaksa makna
Dan menepi sejenak
Di alun-alun selatan dan utara
Menikmati jagung bakar aneka rasa
Ditemani hangatnya wedang ronde
Untuk mencairkan bekunya hatiku
karena tikaman rindu dan cinta.
Semua itu terpatri indah dalam hidupku.
Untuk kukenang dan kurindui sampai akhir hidupku.
Rinduku Jogja.... Untuk yang kesekian kalinya.
Rinduku Jogja.... Untuk yang kesekian kalinya.
Lebih lengkapnya ada di Rindu Yang Tak Pernah diam
Pertama
kali menginjakkan kaki di kota Jogja, ketika saya bersekolah di asrama putri
Muallimat Muhammadyah Kauman. Kesan pertama masuk asrama adalah betapa
serunya bertemu banyak teman dari berbagai pulau di Indonesia. Mulai dari teman
yang berasal dari Sumatera, pulau Jawa sampai Kalimantan. Kebetulan saya sendiri
berasal dari Medan. Sementara kakak saya kuliah dan kost di Jogja juga, dimana
teman kost nya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Yah, Jogya bisa
dikatakan sebagai rumah bagi berbagai anak bangsa. Artinya menjadi Jogja menjadi Indonesia saat kita berada di kota berhati
nyaman ini. Bagi yang pernah merantau dan bersekolah di Jogja, pasti juga
merasakan senang dan serunya bertemu banyak kawan dari Sabang sampai Merauke.
Kesan kedua saat tinggal di asrama yang berlokasi di daerah Kauman Jogja, ada satu hal yang menarik perhatian saya yaitu warna khas rumah di Kauman, mesjid dan madrasah-madrasahnya yang didominasi warna hijau. Termasuk sekolah, mesjid dan asrama kami yang berada di sekitar Notoprajan dan Suronatan Kauman. Meskipun sekarang sudah banyak warga Kauman yang mengganti warna hijau cat rumahnya dengan warna lain. Tapi ciri khas Kauman Dan Muhammadyah dari dulu sudah dikenal dengan warna hijau terangnya yang menyejukkan. Setelah saya cari tahu, ternyata K.H Ahmad Dahlan sengaja memilih simbol Muhammadyah dengan warna hijau karena katanya Kanjeng Nabi Muhammad sendiri sangat suka dengan warna hijau. Menurut Rasulullah warna hijau adalah warnanya surga. Hmmm, sungguh menarik dan inspiratif latar sejarah dipilihnya warna hijau di daerah Kauman ini yang menjadi basis Muhammadyah. Tak salah bila selama ini anggapan bahwa warna mencerminkan suatu makna dan hal bagi penyukanya. Tak terkecuali bagi K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadyah yang begitu mengidolakan sosok Panutannya yaitu Nabi Muhammad SAW.
Begitu juga saat saya menatap kemegahan bangunan mesjid Gede yang berada sekitar Kauman juga. Masjid tertua yang dibangun tanggal 29 Mei 1773 oleh Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebab saya dan anak-anak asrama sering menjalani praktek sholat jamaah bareng di mesjid dekat keraton ini. Terlihat kemegahan dan keunikan arsitektur budaya Islam Jawa dengan ornament-nya yang berlapis emas. Bahkan uniknya penyusunan batu kali putih sebagai dinding masjid tanpa menggunakan semen atau bahan perekat lainnya. Penopang bangunan masjid ini pun katanya menggunakan kayu jati utuh yang telah berusia ratusan tahun. Ckckck, sungguh luar biasa.
Masjid Gede Sumber http://bimasislam.kemenag.go.id
Selain itu, saya masih ingat serunya perayaan Sekaten yang berlangsung di alun alun utara, tak jauh dari Kauman. Dimana kami akan pergi secara rombongan dan dikawal oleh kakak-kakak kelas. Tiket masuknya dulu masih murah banget tapi sekarang udah berkisar 3.500 mungkin lebih. Bisa sih lewat jalan tikus biar tiketnya lebih murah cuma Rp.1000. Katanya melewati lorong-lorong sempit Kauman yang bisa tembus ke alun-alun utara, dimana nanti tersedia kotak tidak resmi untuk bayar tiket masuk. Saya sendiri belum pernah, jadi enggak bisa nunjukin bila kamu mau lewat jalan tikus ini. Hehehe. Sungguh kenangan manis yang indah untuk di kenang.
Biasanya perayaan tahunan yang berlangsung
selama 40 hari ini diadakan sebelum pelaksanaan Grebeg Maulud, hingga dikenal
dengan Grebeg Mulud atau dikenal juga dengan Grebeg Sekaten yang diadakan
setiap tahunnya. Berbagai hasil alam seperti kacang panjang, lombok merah,
beras ketan, buah-buahan dan sebagainya akan dijadikan sebagai bahan Gunungan
Sekaten. Sedikitnya ada enam buah gunungan yang musti dibuat dalam waktu
beberapa hari sebagai kucah dalem
atau sedekah raja. Sebelum Gunungan Sekaten nantinya diperebutkan masyarakat
saat pembukaan perayaan.
Konon katanya ada ritual tertentu yang
dilakukan para abdi dalem sebelum memulai pekerjaan pembuatan gunungan di acara
sekaten, yaitu sehari sebelum bekerja, mereka melakukan laku prihatin dengan
berpuasa sebagai bentuk penyucian dan pembersihan diri serta penenangan
pikiran. Selain itu mereka juga berpantang nyampur atau melakukan hubungan
suami isteri, 40 hari sebelum dimulainya pembuatan gunungan. Maka tak heran
bila abdi dalem perempuan yang ikut membuat gunungan adalah mereka yang sudah niwas getih atau menopause. Hal ini
dilakukan demi menjaga kesucian dan
kesakralan prosesi pembuatan gunungan tersebut.
Kenangan indah lainnya yang tak bisa saya lupakan adalah ketika Bulan Ramadhan tiba. Biasanya menjelang berbuka puasa, anak asrama termasuk saya, suka ngabuburit ke pasar tiban ramadhan di sepanjang Kauman. Meskipun harus berdesak desakan di gang sempit Kauman bersama pembeli lainnya. Namun saya dan teman-teman satu asrama setiap sore menjelang berbuka tetap semangat membeli bukaan disana. Beraneka ragam makanan khas bulan puasa dijajakan seperti kolak dan kicak, serta puluhan sayur dan lauk pauk semacam brongos dan nasi pecel, bacem, sambal goreng pedas serta gudeg. Bahkan kudapan favorit Sultan Hamengkubuwono IX ‘prawan kenes’ juga ada. Itu loh, kudapan yang terbuat dari pisang dan santan kental yang diolah dengan cara dipanggang. Mungkin dulu Gusdur, Amin Rais dan Andi Malarangeng yang katanya pernah kos di Kauman, juga pernah merasakan serunya berdesak-desakan beli bukaan di pasar tiban ramadhan Kauman.
Oh
ya sebagai tambahan imformasi bila suatu saat teman-teman berkunjung ke Kauman.
Nama-nama jalan disana memiliki arti loh, misalnya Jalan Gerjen yang artinya
penjahit sehingga jalan ini merupakan kawasan komunitas para penjahit. Demikian
juga dengan Suronatan, merupakan kawasan abdi dalem yang mengurusi keagamaan
dalam keraton sehingga disebut juga kampung santri. Sementara Notoprajan
sendiri merupakan kawasan komunitas pegawai dan tata pemerintahan. Nama Kauman
sendiri berasal dari bahasa Arab, Qoimmuddin, yang berarti penegak agama. Dalam bahasa Jawa
diistilahkan menjadi kaum. Banyak juga yang menyebutnya Pakauman. Imbuhan ‘Pa’
dalam bahasa Jawa berarti tempat, sehingga Pakauman berarti tempat bagi para
kaum
Asramaku Muallimat Kauman Jogja Sumber Foto Pribadi
Konon dahulu para raja sengaja menempatkan para ulama untuk memakmurkan masjid. Lalu memberikan ulama-ulama itu rumah dan pekarangan dekat masjid, meskipun tidak semua ulama mendapatkannya. Hanya mereka yang banyak berhubungan langsung dengan kegiatan mesjid saja seperti penghulu, keraton, abdi dalem, Ketib, abdi dalem Berjamaah dan abdi dalem Mudi. Nah, para abdi dalem yang mendapatkan pekarangan dan rumah tersebut kemudian mendirikan berbagai langgar dan pesantren kecil. Lalu anak cucu mereka banyak yang menjalin hubungan kemudian menikah hingga berkeluarga. Mereka inilah yang membentuk masyarakat yang disebut masyarakat Kauman. Sehingga wajar bila muncul pameo bahwa “ Hampir seluruh warga Kauman adalah bersaudara.”
Dalam perjalanannya, Kauman pun mengalami
perubahan besar dengan munculnya seorang ulama terkemuka yang kita kenal
bernama K.H Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912
ini. Tak salah bila Ahmad Dahlan kemudian disebut sebagai Sang Pencerah
karena mampu memberi pengaruh pada
tradisi yang selama ini berlaku di lingkungan kraton dan sebelumnya
dilaksanakan di Kauman. Yaitu mengubah
tradisi selametan dan sesaji menjadi sedekah. Kemudian tradisi warga yang selalu menggunakan
mantra-mantra beliau ganti menjadi doa. Ajian-ajian yang biasa dilakukan dalam bela diri
tapak suci juga dihilangkan. Tentunya yang paling fenomenal dari Ahmad Dahlan
adalah berhasil mendirikan Pergerakan Muhamadyah hingga maju pesat sampai sekarang.
Tentu saja bagi saya dan yang pernah ke kota gudeg ini Jogja bukan hanya Kauman, tapi masih banyak lokasi lainnya yang menyimpan banyak sejarah bangsa dan budaya seninya. Salah satunya Mallioboro, ikonnya kota Jogja. Dimana saat menyusuri arcadenya, akan kita temui berbagai oleh-oleh berupa souvenir dan aneka cenderamata, karya para pegiat seni kota ini. Belum lagi aneka batik dari yang murah sampai yang mahal ada disini. Suara derap kaki delman menyambut kedatangan pengunjung, memang tak sejernih dulu, karena bercampur dengan hiruk pikuk laju kendaraan yang kian padat berlalu lalang. Belum lagi Mall-Mall dan ruko berdiri saling berhimpitan, seolah tanpa celah saking rapatnya. Jogja memang kian sesak dan panas, namun tetap menyimpan kehangatan dan keramahtamahan.
Saya kerap memperhatikan lampu jalan bertiang yang terdiri dari tiga lampu kuno dari kaca patri yang melayang dicengkram tangan-tangan tiangnya. Dimana tertulis Jalan Malioboro menggunakan huruf latin dan aksara jawa, di bawah tiang lampu kaca patri. Biasanya setiap yang singgah ke jalan ini yaitu para pendatang termasuk saya, akan mengabadikan foto dirinya di bawah plang nama jalan setinggi bahu orang dewasa tersebut. Seolah-olah sudah menjadi ikon bahwa yang datang kesini, tidaklah sah bila belum berfoto di bawah lampu berukir daun yang melengkung berirama itu. Ornamen yang menggambarkan tipikal masyarakatnya yang ramah, bersahabat dan menghormati orang lain. Lalu segera mengunggahnya di akun media sosial, sekedar ingin menunjukkan pesan pada dunia.
"Aku
telah sampai di Jogja loh, kapan kalian menyusul?" sambil memasang wajah
semanis mungkin dibarengi seulas senyum lebar.
Rasa rindu untuk selalu kembali ke kota ini, membuat saya senang mencari tahu sejarah kota ini termasuk Mallioboro. Tanpa sadar, hampir semua tulisan novel saya memuat setting Jogja dan sejarahnya.
Cerita saya bisa dibaca di link Wattpad Pulang Ke Kotamu
Kembali ke sejarah Malioboro yang konon kata Malioborro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Tak heran dimasa lalu ketika keraton mengadakan acara besar, maka jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Nama jalan Malioboro sendiri awalnya tersemat gara-gara panglima Inggris Marlborough beserta pasukannya sering melintasi jalan ini. Jalan yang dulunya masih lengang dan hanya terdiri dari satu jalur saja. Karena belum begitu banyak kendaraan lewat dan para pedagang kaki lima di sepanjang trotoar seperti sekarang. Lalu oleh pribumi di sebutlah Marboro, karena rakyat jawa waktu itu tidak fasih mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya resmi dinamai Jalan Malioborro sampai sekarang.”
Rasa rindu untuk selalu kembali ke kota ini, membuat saya senang mencari tahu sejarah kota ini termasuk Mallioboro. Tanpa sadar, hampir semua tulisan novel saya memuat setting Jogja dan sejarahnya.
Cerita saya bisa dibaca di link Wattpad Pulang Ke Kotamu
Kembali ke sejarah Malioboro yang konon kata Malioborro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Tak heran dimasa lalu ketika keraton mengadakan acara besar, maka jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Nama jalan Malioboro sendiri awalnya tersemat gara-gara panglima Inggris Marlborough beserta pasukannya sering melintasi jalan ini. Jalan yang dulunya masih lengang dan hanya terdiri dari satu jalur saja. Karena belum begitu banyak kendaraan lewat dan para pedagang kaki lima di sepanjang trotoar seperti sekarang. Lalu oleh pribumi di sebutlah Marboro, karena rakyat jawa waktu itu tidak fasih mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya resmi dinamai Jalan Malioborro sampai sekarang.”
Dikawasan ini juga pada masa kolonial, dibangun gedung-gedung penting seperti Benteng Vredeburg, Java Bank, Kantor Pos dan gedung-gedung penting lainnya oleh Belanda, yang bertujuan demi meningkatkan eksistensi kekuasaan Belanda di Yogyakarta. Ditambah lagi adanya stasiun yang dibangun di sekitar lokasi, yang menjadikan Malioborro dan sekitarnya sebagai pusat geliat ekonomi. Dan geliat itu semakin pesat dengan diijinkannya warga pecinan membangun sebuah pemukiman di sekitar Malioborro yang dikenal dengan Kampung Ketandan. Kampung yang terletak persis di belakang toko Batik terang bulan, yang merupakan toko pertama kali yang berdiri di Yogyakarta, khususnya di kawasan Malioboro. Toko batik yang telah berdiri dari sebelum Indonesia merdeka dan masih tetap bertahan hingga kini. Mengingat warga pecinan terkenal gigih dan pintar dalam usaha perdagangan. Maka mulailah banyak berdiri toko-toko bahan sembako dan obat-obatan berkat mereka di kawasan ini. Betapa di balik tembok bangunan-bangunan kokoh yang berdiri di kawasan ini, menyimpan banyak sejarah di dalamnya.
Sebenarnya bisa berpuluh halaman mengupas tentang keunikan, keragaman seni budaya, kulinernya dan sejarah Jogja. Belum lagi sejarah yang melatari kemerdekaan Indonesia dan kisah perjuangan yang mengantarkan sosok-sosok dan gagasan–gagasan besar untuk Indonesia. Yah, akhirnya kita menyadari bahwa menjadi Jogja adalah menjadi Indonesia. Artinya Jogja tak bisa lepas dari sejarah Indonesia, begitu juga sebaliknya. Saya bangga dan bersyukur bahwa Jogja ada di Indonesia. Dan Indonesia beruntung memiliki Jogja yang begitu istimewa di mata seluruh bangsa Indonesia dan dunia. Untuk itulah kita harus tetap bersatu dan bersemangat menjaga dan membangun Jogja, meskipun berbeda suku bangsa dan keyakinan. Sebab menjadi Jogja adalah menjadi Indonesia. Rindu yang tak pernah diam bagi para pendatang dan bangsa ini.