Daun Yang Jatuh, Haruskah Membuat Pohon Bersedih?
Ketika jiwa berada dalam
titik gamang malam, kecemasan menganak senandung. Esok pagi, disibukkan dengan
memburu semangat hidup. Melewati debu-debu waktu. Mari kita lihat di sana.
Sekumpulan insan justru berlomba-lomba. Mengejar semangat mati! Dalam balutan indah bernama jihad. Karna
surga yang indah tlah berjanji. Kini, lihatlah kembali, kenyataan yang banyak
terjadi. Di wajah-wajah yang tercetak
keraguan dengan sebuah tanya, mengapa
harus mengingat mati? Selama kenikmatan dunia masih dalam genggaman. Aku ingin
hidup seribu tahun lagi. Aihhhhhh......Mendadak amnesia, dengan sahabat
terdekat bernama kematian. Hingga lupa bersiap-siap, dengan kedatangannya yang
sudah ditentukan. Tiada guna berlindung di balik benteng yang tinggi lagi
kokoh. Ataupun menaiki tangga langit ketujuh sekalipun. Karena sejatinya,
batasnya sudah ditetapkan, bagi yang
masih memiliki kontrak dengan kehidupan.
Kususuri
hutan mini yang dipenuhi pohon-pohon berusia ratusan tahun di sekelilingku. Aku
terpaku di depan sebatang pohon yang tegak berdiri dengan beberapa daunnya yang
mulai menguning. Daun menguning itu terlihat masih betah bertengger di dahan,
sebelum takdir memutuskannya untuk luruh ke bumi. Begitu akhirnya beberapa
helai daun jatuh, haruskah membuat pohon bersedih? Sebagaimana diriku yang
kembali diingatkan oleh sebuah kabar duka yang menyayat hati. Lagi dan lagi
salah satu kakak lelakiku pergi untuk selama-lamanya. Rasa kehilangan yang
menyakitkan itu kembali menghampiri. Rasa yang mampu menenggelamkanku ke dalam arus deras hidup tanpa harapan, disaat satu persatu
anggota keluarga terenggut dari kehidupan. Hilang dan kembali ke haribaan Tuhan
dengan cara tragis dan meninggalkan sebentuk trauma mendalam. Andai satu
kehilangan meninggalkan sebuah lubang trauma dihatiku, maka ada banyak lubang
kini yang terbuka menganga.
Pertama kehilangan kakak sulungku yang
merupakan anak kebanggaan keluarga termasuk bagi Mande (ibu) ku. Anak yang
begitu istimewa menurut Mande karena sedari kecil selalu mengukir prestasi
hingga akhirnya bisa mendapatkan bea siswa keluar negeri. Namun disaat hidup
Uda yang kami banggakan mencapai puncak kejayaannya, monster itu seenaknya
merenggutnya. Setelah sebelumnya dia juga merenggut Uda (abang) kedua yang
dikenal sangat dermawan dan ramah semasa hidupnya, hingga diriku dan begitu
banyak orang menangis menatap jasadnya. Bahkan ketika hendak dimakamkan,
berduyun-duyun teman, kaum kerabat mengerubunginya. Begitu juga orang-orang
yang hendak menshalatinya di mesjid, berebut tempat hingga penuh sampai keluar
halaman. Seolah-olah mereka tak ingin melewatkan hari terakhir bersama sebelum
dimakamkan. Dan korban berikutnya Mande (ibu) yang sangat kami sayangi dan
kagumi. Mande sosok yang luar biasa bagi kami karena ketabahannya merawat
sebelas orang anak di tengah kesulitan ekonomi.
Kerap kusesali, mengapa Tuhan tak pernah
mencegah disaat monster itu datang mengunjungi satu persatu orang yang
kucintai? Lalu membawa mereka pergi dengan cara yang tak ingin kami ingat
seumur hidup karena begitu menyakitkan. Monster yang telah meninggalkan bekas
trauma dihatiku dan keluargaku, hingga kecemasan dan ketakutan selalu
menggelayutiku. Yah monster yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta saat sudah
berhadapan dengan korbannya. Mengapa oh mengapa? Sang Pemilik hidup tak
mengulurkan pertolongan dan keajaibannya? disaat Monster itu telah semena-mena
menyakiti dan mengambil paksa orang-orang terbaik dikeluargaku.
Pernah
tiba-tiba di suatu pagi aku tersentak kala sebuah bisikan malaikat
menenangkanku
.
“Kamu harus ikhlas kehilangan keluargamu, karena mereka sudah tenang di alam
sana. Surga telah menanti mereka karena apa yang mereka alami telah
menggugurkan dosa-dosa mereka.”
Namun,
aku tetap mengutuk waktu dan tidak terima akan kehilangan bertubi-tubi yang
menimpaku. Menyesali diri dan merasa bersalah adalah perasaan yang teramat
dalam kurasakan, selain rasa kesedihan yang melemahkan hatiku. Mengapa harus mereka? Ibu dan kakak kakakku? Bukan
orang lain. Tanya itu terus terngiang di benak ini. Rasa cemas pun mendera bila
mengingat kematian itu sangat dekat pada keluargaku. Sebuah wujud berupa
ketakutan yang amat sangat menjelma. Beranggapan bahwa suatu hari akankah
diriku juga akan meninggal karena monster itu? Bahkan hingga kini diri ini selalu
berat untuk melangkah ke makam almarhum ibu dan ketiga kakak lelaki itu.
Membuat rasa cemas itu kian besar menghinggapi. Kalau sudah begitu, rasa pesimis
dan semangat hidupku pun menurun drastis.
Bersambung .....
Tunggu kisah berikutnya dalam menguak monster yang telah merenggut satu-persatu anggota keluarga yang kucintai....
Tunggu kisah berikutnya dalam menguak monster yang telah merenggut satu-persatu anggota keluarga yang kucintai....
turut berduka yaa Irhayati
BalasHapusmak tanti makasih aku padamu mak:)
HapusMbaaakkkk
BalasHapusPeluk ðŸ˜
Makasih😅
HapusMbaaaak. Ya Allah.... Nangis aku baca ini ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusMbak widi balas peluk hug
Hapusbrebes mili
BalasHapus😅
HapusMonster apa mbak? Jadi penasaran. Ini kisah nyata?
BalasHapusiya mbak ini kisah nyata keluargaku
BalasHapusturut berduka cita ya mbak... ditunggu cerita selanjutnya...
BalasHapusMak retno akan saya coba makasih ya😊
HapusIkut sedih bacanya mba :( .. Monster apa yg dimaksud di sini.. Ditunggu lanjutan kisahnya
BalasHapusMak fanni baiklah akan saya kumpulkan kekuatan utk menulis kembali kisah yg sebenarnya tidak ingin saya ingat😥
HapusTurut berbelasungkawa ya mbak, semoga keluarga diberi ketabahan...
BalasHapusAmin mak apriliana makasih dukungannya😅
Hapus