Di era digital sekarang ini, kita harus pinter mengendalikan jari. Sebab kalau tidak, banyak yang akan menjadi korban dan tersakiti. Terutama bagi perempuan, yang menurut penelitian pengguna paling banyak sekitar 64 %.
Tentu kita masih ingat kasus istri TNI yang baru baru ini. Akibat nyinyir di media sosial, akibatnya berdampak pada pemecatan jabatan suaminya. Kisah lainnya masih banyak lagi kita dapati, dimana pelaku sampai masuk penjara akibat tulisannya di media sosial. Tak salah bila Ibu Trisna Willy mengatakan dulu televisi berbahaya, tapi sekarang media sosial lebih berbahaya lagi.
Bagaimanapun keluarga yg kuat adalah cermin dari negara yg kuat, sehingga perempuan harus melek media sosial namun dengan cara yg bijak dalam penggunaannya.
Menurut Erik Mubarok, Praktisi Media Sosial. Coba bertanya pada diri apakah kita lebih banyak menerima efek positif atau negatif dari internet? Contoh positif misalnya memudahkan kita dalam berdagang online.
Sehingga dalam bermedia sosial baiknya
1. Saring sebelum sharing
2.Menjaga agar suami kita selalu tenang dalam bekerja , sebab ada UU ITE lewat perbuatan yg tidak menyenangkan
Bahkan menurut Prof. Dr. Henry Subiakto, Staf Ahli Kemkominfo Bidang Hukum, dulu anak anak bermain secara fisik di luar rumah, sekarang main gadget. Dulu belajar lewat buku sekarang lewat gadget. Dulu anak anak masih mau di beri uang tunai, sekarang mintanya gopay, ovo. Jadi benar benar ada perubahan.
Tak heran, makin jarang sekarang anak-anak nonton tv dan baca koran. Hal ini sudah menjadi fenomena dunia. Kalau ada yg nonton tv sekarang mungkin usianya yg sudah tua atau seleranya tua.
Apalagi sekarang semua orang bisa jadi wartawan dengan hanya modal hp. Potret dan rekam video lalu upload. Ibaratnya sekarang internet itu sudah seperti kebutuhan oksigen saja, kalau tidak ada bisa mati.
Belum lagi game online, yang di satu sisi game online sudah jadi bagian olahraga dan produk industri. Dimana paling banyak dunia industri game online ada di Jepang. Faktanya lagi facebook kian membesar karena kebutuhan memperhatikan dan diperhatikan bagi setiap orang tersalurkan.
Intinya berhati hatilah dalam bermedia sosial karena ada jejak digital dari Google, terutama bagi anak anak kita. Ibaratnya udah ada malaikat baru. Selain itu menurut Ibu Rahmi Psikolog, ciptakan Chat Time atau waktu buat anak, agar tidak kecanduan gadget dan pornografi.
Jumat, 25 Oktober 2019
Senin, 14 Oktober 2019
Rahim Bumi 2
Aku
berlari kecil di sepanjang jalan teladan. Hatiku bungah dan girang ingin segera
sampai di sekolah. Kang Asep benar ,akhirnya guru yang pemarah itu
diberhentikan dari sekolah, karena banyak orangtua murid yang mengadukannya.
Diganti dengan guru yang baru. Namun yang membuatku kembali betah disekolah adalah
Pak Masumi. Wali kelasku yang baru, karena wali kelas yang lama sudah pensiun.
Guru baru yang tak pernah sekalipun mengumbar rasa marah. Apalagi sampai membentak
murid. Guru yang bagiku memiliki sejuta kesabaran dan kasih sayang yang tulus
dari hati, hingga terasa sampai di hatiku dan anak didik beliau. Di depan pintu
gerbang aku bertemu Pak Masumi, guru idolaku dengan sepeda kumbangnya, Pak
Masumi tersenyum kebapakan ke arahku. Senyum yang selalu kurindukan dari sosok Ayah.
“Wah, si
kecil rajin sekali sudah sampai sekolah duluan,” Pak Masumi membelai pipiku.
Aku hanya
menjawab dengan senyum malu-malu namun senang dan tersanjung. Lalu segera masuk
kelas dengan semangat 45, sembari menatap punggung Pak Masumi memasuki kantor
guru-guru. Suasana kelas masih lengang karena baru diriku yang datang.
Sementara bel masuk sekolah masih 15 menit lagi. Sambil menunggu pelajaran
dimulai, aku ambil pe-er karanganku, dan
kubaca lagi dengan cermat. Hmmmm...rasanya sudah tak sabar ingin segera
membacakannya dihadapan teman teman dan Pak Masumi.
Tak
terasa, bel sekolah berdentang nyaring di telinga. Satu persatu murid sekolah
dasar negeri 19 berlari masuk ruangan. Bangku kelas empat pun mulai dipenuhi
siswa, termasuk bangku di sebelahku.
“Hai
Rena, bagaimana pe er karanganmu? “
“Belum
selesai, baru separuh. Rasanya aku tak berbakat mengarang seperti dirimu,”
jawab Rena Manyun.
“Masak
sih? Boleh aku liat ceritamu Rena?”
“Gak
usah ah, aku malu,” tawa Rena.
Aku pun
tak lagi memaksa Rena. Apalagi Pak Masumi sudah masuk kelas. Tanda pelajaran
sebentar lagi akan di mulai.
“
Sepulang sekolah, aku boleh main ke rumahmu Lis? Mau belajar bikin cerita,” Bisik Rena. Aku
hanya mengangguk mengiyakan. Tentu saja aku tak keberatan malah senang sekali.
Apalagi Rena sahabat karibku dari kelas
satu hingga sekarang ini. Rena pun
tersenyum senang.
“Baiklah!
Sekarang bapak akan memanggil satu persatu siswa untuk membacakan hasil
karangan yang kemarin bapak suruh di depan kelas. Bapak mulai dari Geulis
dulu.”
Penuh
antusias, aku segera ke depan kelas.
“Ayo dibacakan, bapak dan teman-temanmu sudah
tidak sabar,” ucap Pak Masumi lagi sambil tersenyum ramah.
“Baik
Pak,” jawabku mantap.
Tuhan.....Ijinkan aku
bertanya. Mengapa kau ambil sosok Hero dalam hidupku? Padahal, aku butuh dia
menjadi pahlawan dalam hidupku. Membantuku mengerjakan pe-er. Mendengar
curhatanku, juga menghiburku di saat bersedih. Terutama saat aku melihat betapa
mesranya hubungan mereka dengan ayahnya di luar sana. Yah, semua teman-temanku
memiliki ayah dalam hidup mereka. Aku sangat iri dan berkhayal kau menggendongku Abah, kala kuterjatuh dan
tertidur diatas kursi, saat membaca buku. Lalu membaringkanku di atas kasur
dengan seulas kecupan sayangmu.
Aku juga ingin bercerita
banyak padamu Abah. Tentang sekolahku, teman-temanku yang lucu, juga tentang
guru-guruku. Dan aku juga ingin membanggakan dirimu di hadapan semua orang
bahwa kaulah Heroku. Pahlawanku yang hebat seperti Superman tokoh favoritku,
yang bisa terbang dan melindungi semua orang. Yah, aku ingin kau menjadi pelindungku.
Juga pelindung bagi Ambu. Oh Abah…Aku tak bisa marah padamu apalagi pada Tuhan,
yang telah membawamu pergi begitu saja tanpa pernah kudengar salam perpisahan
dari suara lembutmu juga belaian kasih mesramu. Aku ingin kau kembali, tapi itu
tak mungkin, agar selalu ada yang melindungi diriku yang kecil ini. Amin.....
Hari
terus berganti dengan cepat. Aku kembali bisa menikmati sekolahku. Hal yang
belum pernah kurasakan sebelumnya.
Apalagi Pak Masumi semakin perhatian
padaku, hingga membuat iri teman teman sekelasku. Mungkin karena setiap pertanyaan
yang diajukan Pak Masumi, aku selalu lebih dulu mengacungkan tangan dengan
semangat empat lima untuk menjawab. Tak ada lagi rasa takut dihatiku. Selain
itu, aku jarang mendapat nilai dibawah sembilan. Bahkan lebih banyak sepuluh hingga
raportku mendapat point tertinggi. Terutama dalam pelajaran mengarang dan
bahasa Indonesia.
Kusadari,
untuk bisa tumbuh, setiap pohon membutuhkan tanah sebagai rahimnya. Begitu juga
denganku, yang terlahir dari rahim seorang Ambu yang lemah lembut namun rapuh. Terlebih
dahulu saya perkenalkan siapa Ambu sebenarnya. Terlahir sebagai anak
satu-satunya dari seorang ibu yang menikah lebih dari satu kali. Ambu hanya
memiliki satu saudara laki-laki tapi dari lain ayah. Adapun saudara-saudara
tiri Ambu yang lain meninggal sejak baru lahir. Yah, sebagaimana Ambu, Nini
(nenek) juga terkenal cantik dan merupakan Mojang yang diperebutkan banyak
Jajaka.
Ambu
sendiri tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dengan rambut hitam
bergelombangnya nan lebat. Berkulit kuning langsat dan berhidung bangir dengan
alis tebal dan mata yang hitam bulat indah. Perpaduan dari ibu Sunda dan ayah
Ambu seorang Pakistan. Tentu banyak Jajaka yang tertarik mempersunting Ambu.
Tak terkecuali tukang pengantar surat yang sering datang dan lewat di depan
rumah Ambu. Namun Nini adalah wanita yang sedikit keras dan otoriter. Ia tak
ingin Ambu menikah bukan dengan pria pilihannya sendiri. Ia pun tak pernah
menerima setiap lamaran yang datang mempersunting Ambu. Ambu meskipun seorang
anak yang penurut, tapi sesungguhnya jiwanya mudah memberontak sehingga menurun
padaku.
Suatu
hari seorang pria paruh baya yang sudah memiliki 5 orang anak datang untuk
melamar Ambu.
“Lilis
belum mau menikah Ambu! Apalagi dengan pria yang sudah pernah memiliki banyak
isteri.”
“Apa
salahnya Neng? Toh isterinya sudah meninggal dan sebagian sudah diceraikan
karena tidak cocok.”
“Mengapa
Ambu begitu bernafsu menjodohkan Lis dengan pria yang usianya tak jauh beda
dengan Ambu? Harusnya Ambu saja yang menikah dengannya!”
“Lilis!
Ngomong apa kamu? Jangan kurang ajar! Kan pria tua itu sukanya ama kamu, bukan
Ambu. Lagian, apalagi yang kamu tunggu? Sekolah tidak lagi dan umurmu juga
semakin bertambah. Ambu yakin duda ini pria yang baik, karena bertahun-tahun
Ambu sudah ikut bekerja di Saungnya.
“Ambu
memang kejam! Dan tak pernah mau ngertiin Lis,” protes Ambu hingga mengurung
diri di kamar selama berhari-hari.
Ambu memang tidak mampu melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi. Selain alasan ekonomi, matanya yang sebelah kiri
juga sering sakit hingga beberapa kali harus di operasi. Walaupun begitu, mata
kanannya masih bisa melihat ketika ia ingin membaca. Apalagi Ambu senang
membaca banyak buku meskipun hanya sekolah sampai tingkat SD. Kebiasaan yang
akhirnya menurun padaku, yang seorang kutu buku. Hanya aktivitas menjahit saja
yang terpaksa Ambu hentikan, karena matanya sudah tidak sekuat dulu lagi. Padahal
banyak sudah hasil border jahitannya yang sudah jadi.
Minggu, 13 Oktober 2019
Rahim Bumi 1
Seperti
biasa, mendung selalu menyapa warga tanah Pasundan, dengan naungan awan
melankolisnya selalu menyapa ramah terutama saat petang. Tak terkecuali hutan
mini yang selalu dikunjungi kaum pendatang dan warga sekitar. Hutan mini yang
terletak di pusat Kota Bogor dan merupakan Kebun Raya tertua di Asia Tenggara
ini, tak hanya menawarkan kecantikan alam tropis dengan beragam jenis Flora
Nusantara, tetapi juga berjasa bagi paru-paru bumi Kota Hujan ini. Tempat
dimana rahim bumiku melahirkan dan membesarkanku.
Berbalikan dengan Bumi Pasundan yang lahir ketika Tuhan
sedang tersenyum.Diriku sendiri terlahir ketika Ambu (ibu) sedang dilanda
kemurungan, hingga tak bisa mencegah lahirku yang lebih cepat dari usia normal.
Prematur!
Masa Kecil Yang Tak
Terlupakan
Pagi
menyambutku dengan semburat kemerahan di atas langit. Matahari mulai muncul
malu-malu enyambut hari. Aku dengan seragam merah putihku,
berjalan cepat menuju sekolah. Melewati jalan sepanjang satu kilometer setelah
enam bulan tak melewati jalan ini karena mogok sekolah. Dadaku menyimpan
semangat dan harapan untuk berani kembali ke bangku sekolah demi Kak Asep dan
Ambu. Meskipun aku lebih betah belajar di rumah. Andai bisa sekolah dari rumah,
alangkah bahagianya. Tapi bagi Ambu, homescholling bukanlah hal yang banyak dilakukan
orang di jaman nya. Mungkin suatu saat nanti, aku yang akan mendirikan home
schoolling bagi anak-anak yang bermasalah dengan sekolah sepertiku. Kali ini,
aku mencobanya lagi demi cita-citanya menjadi Dosen dan penulis.
Awalnya,
kembali masuk sekolah serba menyenangkan. Melihat anak-anak berseragam merah
putih berlari riang di taman. Suasana kelas terdengar riuh rendah oleh
teman-teman baruku yang baik hati. Disampingku duduk Rena sahabatku, dengan
kedua pita merah di rambutnya yang dikepang.
Mengeluarkan alat tulis untuk mata pelajaran hari ini. Tersembul senyum
manis di bibir tipis Rena. Aku merasa, tak ada yang lebih menyenangkan selain
menjadi murid sekolah lagi, setelah sebelumnya ogah disuruh balik ke sekolah
lagi. Hatiku riang menyambut hari hari di sekolah yang baru beberapa hari ini. Semenjak
kami pindah ke kota Medan, mengikuti saudara Abah yang memiliki usaha restoran.
Lalu dengan cepat semuanya kembali
berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Ketika guru berwajah sangar
dengan suaranya yang menggelegar masuk ke ruangan kelas. Menatap murid satu
persatu dengan matanya yang menyala. Dan mulai mengeluarkan suara perintah
dengan keras.
“Sekarang, keluarkan catatan kalian!
Ibu akan mengajarkan mata pelajaran seni suara.”
Dengan tergesa, para siswa baru
termasuk diriku menjalankan perintah. Sibuk mengeluarkan buku dan pensil. Lalu
dengan mata yang menatap lurus ke depan menyimak pelajaran. Menulis not balok
di buku sesuai yang terlihat di papan tulis. Setelah itu mengikuti Bu
Matondang, mengucapkan bunyi nada satu persatu. Tubuhku serasa kaku karena
takut bergerak. Kedua tanganku terlipat ketat di atas meja. Keringat dingin
mulai terasa membanjiri tubuh kecilku.
“Ayo ulangi sekali lagi. Yang benar!
teriak Bu Matondang lagi. Nyaliku semakin menciut. Apalagi saat bangku mulai di
datangi satu persatu oleh Bu Matondang.
“Sekarang giliranmu. Ayo ikuti saya.
Dooooo…..!!!!!
Aku menjawab penuh gemetar hingga
bunyi Do, terucap penuh getaran.
“Yang kencang dong! pelan kali
suaramu,” keluh Bu Matondang memasang wajah kesal.
Sia-sia,
suara yang keluar dari bibirku tetap halus hingga nyaris tak terdengar. Tak
sesuai dengan yang diinginkan guru seni suara yang masih berdiri di sampingku.
Apalagi untuk menyamai suara gerejanya. Akhirnya tangannya yang lebar
menggebrak meja cukup keras, hingga terdengar ke seluruh ruangan. Aku menunduk
marah di dalam hati, bukan sekolah dan
guru seperti ini yang aku inginkan menuntunku mencari ilmu. Tanpa menunggu
lagi, aku berlari ke luar kelas tanpa memperdulikan tas dan alat tulisku di
dalam meja. Tak menoleh sedikitpun, meski Bu Matondang berteriak marah.
“Hei, mau kemana kau?” Aku terus berlari
dengan bersimbah air mata menembus gerbang sekolah. Menuju rumah sederhana dan
mungil di ujung jalan. Ambu yang melihatku sudah pulang sepagi ini, terpana.
“Geulis. Ada apa? Mana tasmu
sayang?” Tanya Ambu sambil mengelus rambut ikalku.
Aku hanya duduk dipojokan rumah
dengan isakan. Menangis dan terus menangis dengan wajah penuh ketakutan. Tak
berani berterus terang pada Ambu tentang keresahanku. Setelah puas menitikkan
air mata dari kedua mata cokelatku, kulontarkan semua amarah dan kesalku di
pangkuan Ambu.
“Lis gak
mau sekolah lagi Ambu.,” Jawabku sambil memeluk erat paha Ambu.
Ambu hanya diam. Tidak mengeluarkan
amarahnya juga nasehat. Beliau sudah tahu jawabannya. Tangan keriputnya hanya
terus mengusap punggung putri bungsunya.
“Dinakalin teman temanmu lagi?”
Aku menggeleng.
“Oh, Lis
dimarahi guru lagi?”
Aku mengangguk.
“Pokoknya Lis tidak mau balik ke
sekolah itu lagi Ambu. Kita balik aja lagi ke Bogor,” isakku.
Ambu kembali diam terpekur. Dia
tahu, hanya Asep, Akangnya yang bisa membujuknya. Selagi masih bisa keadaannya
di perbaiki, ia bisa kembali ke sekolah yang baru beberapa hari ia jalani. Sebelumnya
di sekolah yang lama, aku mogok sekolah, karena gurunya sedikit-sedikit suka
memukul dan menghukum di depan kelas. Nyaliku kerap ciut dan dilanda cemas saat
berangkat ke sekolah. Hal ini terlihat dengan seringnya aku mendadak sakit perut
ketika disuruh berangkat. Sementara di sekolah yang berikutnya, ada seorang
anak murid yang suka membully dan mengerjaiku. Kenakalan ala anak anak yang tak
bisa ditolerir meskipun hanya dilakukan oleh anak anak. Apalagi pihak sekolah
tidak mau perduli dan cuek. Harapanku dan Ambu moga sekolah yang ketiga ini
lebih ramah dan nyaman untuk tempat belajar. Tapi nyatanya, kembali terjadi hal
yang sama.
“Ya sudah. Sekarang ganti baju dan ikut
Ambu ke pajak (pasar dalam bahasa Medan). Kita beli buku cerita yang banyak di
toko buku bekas, ya.”
Aku langsung terbangun dengan penuh
semangat lagi. Mendengar Ambu berkata tentang buku-buku cerita. Tanpa menunggu
lagi, segera kuanggukkan kepala dan mengikuti Ambu naik becak ke pasar Hayat
Medan. Duniaku kembali penuh warna, walau hatiku bimbang apakah Ambu mau
memindahkan sekolahku lagi? Setelah dua kali aku pindah sekolah karena tidak
cocok dengan guru dan teman-teman disekolahku. Bahkan aku ragu, apakah masih
mau sekolah. Lebih nyaman di rumah bersama Ambu dan Kang Asep. Meskipun Abah,
sosok hero yang kurindukan sudah meninggalkanku. Tak lama setelah kepindahan
kami ke Medan.
Bagiku,
tak ada yang lebih menarik selain buku. Kalau buku sudah berada di tangan
mungilku, maka aku akan lupa segalanya. Bahkan sampai tertidur memeluk buku
dengan erat dan mesra. Biasanya kalau sudah begitu, Kang asep yang baru pulang
mengajar privat, akan menggendongku ke kamar sambil melepaskan buku di tanganku
dengan perlahan. Kak Asep yang kini menjadi hero dalam hidupku setelah Abah.
Kang Asep yang selalu memberikan kata kata nasehat dengan lembut di telingaku,
setelah Ambu. Kang Asep yang akan segera berlari panik, bila mendengarku
menangis. Entah karena terluka jatuh dari sepeda, atau karena mendengar amukan
amarahku karena sesuatu hal.
“Lis,
mau Kang Asep anterin ke sekolah? Bujuknya sambil menatap adik semata wayangnya
lekat. Aku menggelengkan kepala dengan kuat.
“Jangan
cemas, nanti Kang Asep akan bicara sama gurunya biar Lis tidak digalakkin
lagi,” rayu Akangnya sambil melebarkan senyum charmingnya.
“Lis bukan
hanya cemas Kang, tapi juga malu karena sudah dibentak di hadapan semua teman
sekelas,” jawabku dengan mata yang masih fokus di buku cerita kesukaanku.
“Akang
janji, bila Lis masih dipermalukan dan dimarahi lagi, maka Lis boleh belajar di
rumah saja sama Akang, “ bujuk Kang Asep lagi sambil melebarkan matanya yang
bulat dan hitam pekat. Rambut ombaknya menyentuh jidat lebarnya dengan
sempurna. Akhirnya aku mengangguk lemah tanda setuju. Aku percaya pada janji Kang Asep yang tak pernah
mengecewakanku. Meskipun terkadang sikap Kang Asep tegas dan tak bisa dibantah.
Namun kelembutan dan kasih sayang serta kelucuannya yang suka menghibur membuat
diriku tenang. Akh, andai guru di sekolahnya seperti Kang Asep, pasti aku betah
belajar disekolah lama-lama. Nilai-nilaiku juga pasti tinggi terus.
Bagaimanapun, waktu dikelas satu hingga kelas tiga, aku rangking pertama terus
di kelas. Apalagi kalau sudah pelajaran mengarang. Bahkan kepiawaianku bercerita,
membuat teman sekelasku betah berlama lama duduk dihadapannku. Mendengar rangkaian
cerita yang aku karang sendiri. Atau aku ceritakan ulang dari buku yang pernah
kubaca.
“Terus, gimana ceritanya Lis? Ayo, cerita lagi
Lis, kok udahan? Lanjutin lagi cerita yang kemarin atau ceritain lagi yang
kemarin.” Begitulah selalu celoteh teman-teman kecilku. Walau kadang aku bosan
harus mengulang cerita yang sama.
Sabtu, 12 Oktober 2019
99 Nama Cinta, Film Roman Bernuansa Religi
Film
Roman Bernuansa Religi
Bagi kamu
penggemar film romance tapi tidak vulgar, bisa nonton film terbaru Acha
Septriasa yang beradu akting dengan Deva Mahendra. Sebab flim ini meski
berkesan romantis, namun memiliki sentuhan religi. Ciamik banget kanJ
Kita sudah tahu bagaimana kualitas akting Acha Septriasa di film-filmnya yang
selalu best seller. Sebut saja My heart, 99 cahaya di Eropa dan banyak lagi. Nah,
kebayangkan bagaimana serunya bila Acha berhadapan dengan Deva Mahendra, yang
berperan sebagai ustad gaul di film ini. Apalagi akting Deva Mahendra sangat
keren di fim ini. Pokoknya ubin masjid banget deh. Deva Mahendra sendiri
mengaku melakukan persiapan dalam penjiwaannya menjadi ustad dengan menggali
sosok-sosok ustad dalam kehidupan sehari-hari, dengan memadukan pengalaman
pribadinya selain referensi dari tim.
Review Trailer 99 Nama Cinta
Bertepatan
pada hari Kamis 10 Oktober 2019, MNC Film Indonesia menggelar acara review
trailer film 99 Nama Cinta. Film ini
berkisah tentang sosok perempuan mandiri yang bekerja sebagai presenter
infotaiment sekaligus produser bernama Talia (diperankan oleh Acha Septriasa). Seorang
wanita ambisius yang menempatkan karir di atas segalanya. Walaupun harus
menghalalkan segala cara. Baginya yang tepenting karirnya bisa sukses luar
biasa. Nah, begitu bertemu Kiblat, ustad gaul (diperankan oleh Deva Mahendra). Talia pun
tercerahkan bahwa hidup tak hanya mengejar karir dan kerja keras melulu, tapi
harus seimbang dan butuh ketenangan. Ibaratnya tak hanya mengejar kehidupan
duniawi saja. Sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta dan mulai dipenuhi rasa
cemburu, cinta, sayang dan keinginan untuk selalu bersama. Mungkin ungkapan di
film ini “Kalau cemburu jangan terlalu,
kalau benci juga jangan terlalu nanti jadi rindu” pas menggambarkan dua
sejoli yang sedang mabuk cinta.
Proses Syuting Dan Para Crew
Lokasi
syutingnya sendiri bertempat di Kediri Jawa Timur, yang menurut Acha sangat
asyik dan menantang karena udaranya bila siang terik banget dan malamnya
dingin. Ditambah lagi hembusan anginnya yang cukup kencang. Sampai Deva
Mahendramengatakan Kediri rasa Melbourne karena dinginnya. Bagi Acha Septriasa
sendiri ini syuting filmnya yang pertama setelah menjadi ibu. Bahkan ia rela
datang dari Australia untuk syuting film ini, karena tertarik dengan jalan
ceritanya. Meski sambil mengasuh putrinya Bridgia sendirian sambil bekerja di
lokasi syuting.
Oh
ya, film ini disutradarai oleh Daniel Rifki dengan penulis skenario yang handal
Garin Nugroho. Adapun para pemain baru selain Acha Septriasa dan Deva Mahendra
ada Chiki Fawzi (Husna), Adinda Thomas (Mlenuk), Susan Sameh (Chandra dan
pemain stand up komedi Dzawin (Ustad Bambu). Ada juga artis senior Ira Wibowo
(ibu Talia) dan Doni Damara (Kyai Umar)
Jadi
pastikan ajak teman-temanmu tanggal 14 Nopember 2019 ini ke bioskop untuk menyaksikan film ini
yah, agar rasa penasaranmu terobati untuk menonton film yang katanya ada
sentuhan-sentuhan koreanya gitu. Sebelum nonton kamu juga bisa liat trailernya dulu di youtube. Berikut link youtube trailer filmnya.