Seperti
biasa, mendung selalu menyapa warga tanah Pasundan, dengan naungan awan
melankolisnya selalu menyapa ramah terutama saat petang. Tak terkecuali hutan
mini yang selalu dikunjungi kaum pendatang dan warga sekitar. Hutan mini yang
terletak di pusat Kota Bogor dan merupakan Kebun Raya tertua di Asia Tenggara
ini, tak hanya menawarkan kecantikan alam tropis dengan beragam jenis Flora
Nusantara, tetapi juga berjasa bagi paru-paru bumi Kota Hujan ini. Tempat
dimana rahim bumiku melahirkan dan membesarkanku.
Berbalikan dengan Bumi Pasundan yang lahir ketika Tuhan
sedang tersenyum.Diriku sendiri terlahir ketika Ambu (ibu) sedang dilanda
kemurungan, hingga tak bisa mencegah lahirku yang lebih cepat dari usia normal.
Prematur!
Masa Kecil Yang Tak
Terlupakan
Pagi
menyambutku dengan semburat kemerahan di atas langit. Matahari mulai muncul
malu-malu enyambut hari. Aku dengan seragam merah putihku,
berjalan cepat menuju sekolah. Melewati jalan sepanjang satu kilometer setelah
enam bulan tak melewati jalan ini karena mogok sekolah. Dadaku menyimpan
semangat dan harapan untuk berani kembali ke bangku sekolah demi Kak Asep dan
Ambu. Meskipun aku lebih betah belajar di rumah. Andai bisa sekolah dari rumah,
alangkah bahagianya. Tapi bagi Ambu, homescholling bukanlah hal yang banyak dilakukan
orang di jaman nya. Mungkin suatu saat nanti, aku yang akan mendirikan home
schoolling bagi anak-anak yang bermasalah dengan sekolah sepertiku. Kali ini,
aku mencobanya lagi demi cita-citanya menjadi Dosen dan penulis.
Awalnya,
kembali masuk sekolah serba menyenangkan. Melihat anak-anak berseragam merah
putih berlari riang di taman. Suasana kelas terdengar riuh rendah oleh
teman-teman baruku yang baik hati. Disampingku duduk Rena sahabatku, dengan
kedua pita merah di rambutnya yang dikepang.
Mengeluarkan alat tulis untuk mata pelajaran hari ini. Tersembul senyum
manis di bibir tipis Rena. Aku merasa, tak ada yang lebih menyenangkan selain
menjadi murid sekolah lagi, setelah sebelumnya ogah disuruh balik ke sekolah
lagi. Hatiku riang menyambut hari hari di sekolah yang baru beberapa hari ini. Semenjak
kami pindah ke kota Medan, mengikuti saudara Abah yang memiliki usaha restoran.
Lalu dengan cepat semuanya kembali
berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagiku. Ketika guru berwajah sangar
dengan suaranya yang menggelegar masuk ke ruangan kelas. Menatap murid satu
persatu dengan matanya yang menyala. Dan mulai mengeluarkan suara perintah
dengan keras.
“Sekarang, keluarkan catatan kalian!
Ibu akan mengajarkan mata pelajaran seni suara.”
Dengan tergesa, para siswa baru
termasuk diriku menjalankan perintah. Sibuk mengeluarkan buku dan pensil. Lalu
dengan mata yang menatap lurus ke depan menyimak pelajaran. Menulis not balok
di buku sesuai yang terlihat di papan tulis. Setelah itu mengikuti Bu
Matondang, mengucapkan bunyi nada satu persatu. Tubuhku serasa kaku karena
takut bergerak. Kedua tanganku terlipat ketat di atas meja. Keringat dingin
mulai terasa membanjiri tubuh kecilku.
“Ayo ulangi sekali lagi. Yang benar!
teriak Bu Matondang lagi. Nyaliku semakin menciut. Apalagi saat bangku mulai di
datangi satu persatu oleh Bu Matondang.
“Sekarang giliranmu. Ayo ikuti saya.
Dooooo…..!!!!!
Aku menjawab penuh gemetar hingga
bunyi Do, terucap penuh getaran.
“Yang kencang dong! pelan kali
suaramu,” keluh Bu Matondang memasang wajah kesal.
Sia-sia,
suara yang keluar dari bibirku tetap halus hingga nyaris tak terdengar. Tak
sesuai dengan yang diinginkan guru seni suara yang masih berdiri di sampingku.
Apalagi untuk menyamai suara gerejanya. Akhirnya tangannya yang lebar
menggebrak meja cukup keras, hingga terdengar ke seluruh ruangan. Aku menunduk
marah di dalam hati, bukan sekolah dan
guru seperti ini yang aku inginkan menuntunku mencari ilmu. Tanpa menunggu
lagi, aku berlari ke luar kelas tanpa memperdulikan tas dan alat tulisku di
dalam meja. Tak menoleh sedikitpun, meski Bu Matondang berteriak marah.
“Hei, mau kemana kau?” Aku terus berlari
dengan bersimbah air mata menembus gerbang sekolah. Menuju rumah sederhana dan
mungil di ujung jalan. Ambu yang melihatku sudah pulang sepagi ini, terpana.
“Geulis. Ada apa? Mana tasmu
sayang?” Tanya Ambu sambil mengelus rambut ikalku.
Aku hanya duduk dipojokan rumah
dengan isakan. Menangis dan terus menangis dengan wajah penuh ketakutan. Tak
berani berterus terang pada Ambu tentang keresahanku. Setelah puas menitikkan
air mata dari kedua mata cokelatku, kulontarkan semua amarah dan kesalku di
pangkuan Ambu.
“Lis gak
mau sekolah lagi Ambu.,” Jawabku sambil memeluk erat paha Ambu.
Ambu hanya diam. Tidak mengeluarkan
amarahnya juga nasehat. Beliau sudah tahu jawabannya. Tangan keriputnya hanya
terus mengusap punggung putri bungsunya.
“Dinakalin teman temanmu lagi?”
Aku menggeleng.
“Oh, Lis
dimarahi guru lagi?”
Aku mengangguk.
“Pokoknya Lis tidak mau balik ke
sekolah itu lagi Ambu. Kita balik aja lagi ke Bogor,” isakku.
Ambu kembali diam terpekur. Dia
tahu, hanya Asep, Akangnya yang bisa membujuknya. Selagi masih bisa keadaannya
di perbaiki, ia bisa kembali ke sekolah yang baru beberapa hari ia jalani. Sebelumnya
di sekolah yang lama, aku mogok sekolah, karena gurunya sedikit-sedikit suka
memukul dan menghukum di depan kelas. Nyaliku kerap ciut dan dilanda cemas saat
berangkat ke sekolah. Hal ini terlihat dengan seringnya aku mendadak sakit perut
ketika disuruh berangkat. Sementara di sekolah yang berikutnya, ada seorang
anak murid yang suka membully dan mengerjaiku. Kenakalan ala anak anak yang tak
bisa ditolerir meskipun hanya dilakukan oleh anak anak. Apalagi pihak sekolah
tidak mau perduli dan cuek. Harapanku dan Ambu moga sekolah yang ketiga ini
lebih ramah dan nyaman untuk tempat belajar. Tapi nyatanya, kembali terjadi hal
yang sama.
“Ya sudah. Sekarang ganti baju dan ikut
Ambu ke pajak (pasar dalam bahasa Medan). Kita beli buku cerita yang banyak di
toko buku bekas, ya.”
Aku langsung terbangun dengan penuh
semangat lagi. Mendengar Ambu berkata tentang buku-buku cerita. Tanpa menunggu
lagi, segera kuanggukkan kepala dan mengikuti Ambu naik becak ke pasar Hayat
Medan. Duniaku kembali penuh warna, walau hatiku bimbang apakah Ambu mau
memindahkan sekolahku lagi? Setelah dua kali aku pindah sekolah karena tidak
cocok dengan guru dan teman-teman disekolahku. Bahkan aku ragu, apakah masih
mau sekolah. Lebih nyaman di rumah bersama Ambu dan Kang Asep. Meskipun Abah,
sosok hero yang kurindukan sudah meninggalkanku. Tak lama setelah kepindahan
kami ke Medan.
Bagiku,
tak ada yang lebih menarik selain buku. Kalau buku sudah berada di tangan
mungilku, maka aku akan lupa segalanya. Bahkan sampai tertidur memeluk buku
dengan erat dan mesra. Biasanya kalau sudah begitu, Kang asep yang baru pulang
mengajar privat, akan menggendongku ke kamar sambil melepaskan buku di tanganku
dengan perlahan. Kak Asep yang kini menjadi hero dalam hidupku setelah Abah.
Kang Asep yang selalu memberikan kata kata nasehat dengan lembut di telingaku,
setelah Ambu. Kang Asep yang akan segera berlari panik, bila mendengarku
menangis. Entah karena terluka jatuh dari sepeda, atau karena mendengar amukan
amarahku karena sesuatu hal.
“Lis,
mau Kang Asep anterin ke sekolah? Bujuknya sambil menatap adik semata wayangnya
lekat. Aku menggelengkan kepala dengan kuat.
“Jangan
cemas, nanti Kang Asep akan bicara sama gurunya biar Lis tidak digalakkin
lagi,” rayu Akangnya sambil melebarkan senyum charmingnya.
“Lis bukan
hanya cemas Kang, tapi juga malu karena sudah dibentak di hadapan semua teman
sekelas,” jawabku dengan mata yang masih fokus di buku cerita kesukaanku.
“Akang
janji, bila Lis masih dipermalukan dan dimarahi lagi, maka Lis boleh belajar di
rumah saja sama Akang, “ bujuk Kang Asep lagi sambil melebarkan matanya yang
bulat dan hitam pekat. Rambut ombaknya menyentuh jidat lebarnya dengan
sempurna. Akhirnya aku mengangguk lemah tanda setuju. Aku percaya pada janji Kang Asep yang tak pernah
mengecewakanku. Meskipun terkadang sikap Kang Asep tegas dan tak bisa dibantah.
Namun kelembutan dan kasih sayang serta kelucuannya yang suka menghibur membuat
diriku tenang. Akh, andai guru di sekolahnya seperti Kang Asep, pasti aku betah
belajar disekolah lama-lama. Nilai-nilaiku juga pasti tinggi terus.
Bagaimanapun, waktu dikelas satu hingga kelas tiga, aku rangking pertama terus
di kelas. Apalagi kalau sudah pelajaran mengarang. Bahkan kepiawaianku bercerita,
membuat teman sekelasku betah berlama lama duduk dihadapannku. Mendengar rangkaian
cerita yang aku karang sendiri. Atau aku ceritakan ulang dari buku yang pernah
kubaca.
“Terus, gimana ceritanya Lis? Ayo, cerita lagi
Lis, kok udahan? Lanjutin lagi cerita yang kemarin atau ceritain lagi yang
kemarin.” Begitulah selalu celoteh teman-teman kecilku. Walau kadang aku bosan
harus mengulang cerita yang sama.
Wah seru ya kang Asep itu, rindu dulu nggak punya kakak laki yang siap membelakuh hiks
BalasHapusKang Asep sepertinya menjadi akang yang paling the best dah ya. Hehehe
BalasHapusBy the way, ada typo kak. Barangkali mau langsung diedit. Hehehehe
Ini fiksi atau kisah nyata, mba'? Menariknyaa tokoh kang asep. Bisa jadi akang kesayangan pembaca nih 😊
BalasHapusMemang ya, suasana sekolah yang nyaman akan menjadikan anak betah bersekolah. Untung masih mempunyai orang2 yang memahami dan menyayangi kita dengan tulus, seperti Ambu dan Kang Asep.
BalasHapuswah kang asep bisa jadi idola nih..kakak yang siap jadi pelindung keluarganya
BalasHapusLingkungan sekolah yang nyaman dan guru yang baik, kreatif & inovatif bisa bikin anak semangat sekolah. Sebaliknya, jika lingkungan ngga kondusif dan/atau gurunya galak bikin anak gugup dan kesulitan belajar.
BalasHapusAku nggak punya kakak laki-laki. Baca ini jadi pengen punya akang ... Eh ... Sekarang udah punya ding ... Hi ..hi...
BalasHapus