Aku
berlari kecil di sepanjang jalan teladan. Hatiku bungah dan girang ingin segera
sampai di sekolah. Kang Asep benar ,akhirnya guru yang pemarah itu
diberhentikan dari sekolah, karena banyak orangtua murid yang mengadukannya.
Diganti dengan guru yang baru. Namun yang membuatku kembali betah disekolah adalah
Pak Masumi. Wali kelasku yang baru, karena wali kelas yang lama sudah pensiun.
Guru baru yang tak pernah sekalipun mengumbar rasa marah. Apalagi sampai membentak
murid. Guru yang bagiku memiliki sejuta kesabaran dan kasih sayang yang tulus
dari hati, hingga terasa sampai di hatiku dan anak didik beliau. Di depan pintu
gerbang aku bertemu Pak Masumi, guru idolaku dengan sepeda kumbangnya, Pak
Masumi tersenyum kebapakan ke arahku. Senyum yang selalu kurindukan dari sosok Ayah.
“Wah, si
kecil rajin sekali sudah sampai sekolah duluan,” Pak Masumi membelai pipiku.
Aku hanya
menjawab dengan senyum malu-malu namun senang dan tersanjung. Lalu segera masuk
kelas dengan semangat 45, sembari menatap punggung Pak Masumi memasuki kantor
guru-guru. Suasana kelas masih lengang karena baru diriku yang datang.
Sementara bel masuk sekolah masih 15 menit lagi. Sambil menunggu pelajaran
dimulai, aku ambil pe-er karanganku, dan
kubaca lagi dengan cermat. Hmmmm...rasanya sudah tak sabar ingin segera
membacakannya dihadapan teman teman dan Pak Masumi.
Tak
terasa, bel sekolah berdentang nyaring di telinga. Satu persatu murid sekolah
dasar negeri 19 berlari masuk ruangan. Bangku kelas empat pun mulai dipenuhi
siswa, termasuk bangku di sebelahku.
“Hai
Rena, bagaimana pe er karanganmu? “
“Belum
selesai, baru separuh. Rasanya aku tak berbakat mengarang seperti dirimu,”
jawab Rena Manyun.
“Masak
sih? Boleh aku liat ceritamu Rena?”
“Gak
usah ah, aku malu,” tawa Rena.
Aku pun
tak lagi memaksa Rena. Apalagi Pak Masumi sudah masuk kelas. Tanda pelajaran
sebentar lagi akan di mulai.
“
Sepulang sekolah, aku boleh main ke rumahmu Lis? Mau belajar bikin cerita,” Bisik Rena. Aku
hanya mengangguk mengiyakan. Tentu saja aku tak keberatan malah senang sekali.
Apalagi Rena sahabat karibku dari kelas
satu hingga sekarang ini. Rena pun
tersenyum senang.
“Baiklah!
Sekarang bapak akan memanggil satu persatu siswa untuk membacakan hasil
karangan yang kemarin bapak suruh di depan kelas. Bapak mulai dari Geulis
dulu.”
Penuh
antusias, aku segera ke depan kelas.
“Ayo dibacakan, bapak dan teman-temanmu sudah
tidak sabar,” ucap Pak Masumi lagi sambil tersenyum ramah.
“Baik
Pak,” jawabku mantap.
Tuhan.....Ijinkan aku
bertanya. Mengapa kau ambil sosok Hero dalam hidupku? Padahal, aku butuh dia
menjadi pahlawan dalam hidupku. Membantuku mengerjakan pe-er. Mendengar
curhatanku, juga menghiburku di saat bersedih. Terutama saat aku melihat betapa
mesranya hubungan mereka dengan ayahnya di luar sana. Yah, semua teman-temanku
memiliki ayah dalam hidup mereka. Aku sangat iri dan berkhayal kau menggendongku Abah, kala kuterjatuh dan
tertidur diatas kursi, saat membaca buku. Lalu membaringkanku di atas kasur
dengan seulas kecupan sayangmu.
Aku juga ingin bercerita
banyak padamu Abah. Tentang sekolahku, teman-temanku yang lucu, juga tentang
guru-guruku. Dan aku juga ingin membanggakan dirimu di hadapan semua orang
bahwa kaulah Heroku. Pahlawanku yang hebat seperti Superman tokoh favoritku,
yang bisa terbang dan melindungi semua orang. Yah, aku ingin kau menjadi pelindungku.
Juga pelindung bagi Ambu. Oh Abah…Aku tak bisa marah padamu apalagi pada Tuhan,
yang telah membawamu pergi begitu saja tanpa pernah kudengar salam perpisahan
dari suara lembutmu juga belaian kasih mesramu. Aku ingin kau kembali, tapi itu
tak mungkin, agar selalu ada yang melindungi diriku yang kecil ini. Amin.....
Hari
terus berganti dengan cepat. Aku kembali bisa menikmati sekolahku. Hal yang
belum pernah kurasakan sebelumnya.
Apalagi Pak Masumi semakin perhatian
padaku, hingga membuat iri teman teman sekelasku. Mungkin karena setiap pertanyaan
yang diajukan Pak Masumi, aku selalu lebih dulu mengacungkan tangan dengan
semangat empat lima untuk menjawab. Tak ada lagi rasa takut dihatiku. Selain
itu, aku jarang mendapat nilai dibawah sembilan. Bahkan lebih banyak sepuluh hingga
raportku mendapat point tertinggi. Terutama dalam pelajaran mengarang dan
bahasa Indonesia.
Kusadari,
untuk bisa tumbuh, setiap pohon membutuhkan tanah sebagai rahimnya. Begitu juga
denganku, yang terlahir dari rahim seorang Ambu yang lemah lembut namun rapuh. Terlebih
dahulu saya perkenalkan siapa Ambu sebenarnya. Terlahir sebagai anak
satu-satunya dari seorang ibu yang menikah lebih dari satu kali. Ambu hanya
memiliki satu saudara laki-laki tapi dari lain ayah. Adapun saudara-saudara
tiri Ambu yang lain meninggal sejak baru lahir. Yah, sebagaimana Ambu, Nini
(nenek) juga terkenal cantik dan merupakan Mojang yang diperebutkan banyak
Jajaka.
Ambu
sendiri tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dengan rambut hitam
bergelombangnya nan lebat. Berkulit kuning langsat dan berhidung bangir dengan
alis tebal dan mata yang hitam bulat indah. Perpaduan dari ibu Sunda dan ayah
Ambu seorang Pakistan. Tentu banyak Jajaka yang tertarik mempersunting Ambu.
Tak terkecuali tukang pengantar surat yang sering datang dan lewat di depan
rumah Ambu. Namun Nini adalah wanita yang sedikit keras dan otoriter. Ia tak
ingin Ambu menikah bukan dengan pria pilihannya sendiri. Ia pun tak pernah
menerima setiap lamaran yang datang mempersunting Ambu. Ambu meskipun seorang
anak yang penurut, tapi sesungguhnya jiwanya mudah memberontak sehingga menurun
padaku.
Suatu
hari seorang pria paruh baya yang sudah memiliki 5 orang anak datang untuk
melamar Ambu.
“Lilis
belum mau menikah Ambu! Apalagi dengan pria yang sudah pernah memiliki banyak
isteri.”
“Apa
salahnya Neng? Toh isterinya sudah meninggal dan sebagian sudah diceraikan
karena tidak cocok.”
“Mengapa
Ambu begitu bernafsu menjodohkan Lis dengan pria yang usianya tak jauh beda
dengan Ambu? Harusnya Ambu saja yang menikah dengannya!”
“Lilis!
Ngomong apa kamu? Jangan kurang ajar! Kan pria tua itu sukanya ama kamu, bukan
Ambu. Lagian, apalagi yang kamu tunggu? Sekolah tidak lagi dan umurmu juga
semakin bertambah. Ambu yakin duda ini pria yang baik, karena bertahun-tahun
Ambu sudah ikut bekerja di Saungnya.
“Ambu
memang kejam! Dan tak pernah mau ngertiin Lis,” protes Ambu hingga mengurung
diri di kamar selama berhari-hari.
Ambu memang tidak mampu melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi. Selain alasan ekonomi, matanya yang sebelah kiri
juga sering sakit hingga beberapa kali harus di operasi. Walaupun begitu, mata
kanannya masih bisa melihat ketika ia ingin membaca. Apalagi Ambu senang
membaca banyak buku meskipun hanya sekolah sampai tingkat SD. Kebiasaan yang
akhirnya menurun padaku, yang seorang kutu buku. Hanya aktivitas menjahit saja
yang terpaksa Ambu hentikan, karena matanya sudah tidak sekuat dulu lagi. Padahal
banyak sudah hasil border jahitannya yang sudah jadi.
Ini masih ada lanjutannya ya mbak? Aku penasaran euy pengen tahu lagi kelanjutannya Cerita ini. Ditunggu besok y mba
BalasHapusIya ikutin terus yah😊
Hapuswah seru nih cerbungnya.. aku jadi penasaran sama kelanjutannya.. dishare lewat grup wa IHB ya mbak.. penasaran euy sm neng geulis dan ambunya kumaha.. hihiii
BalasHapus